Kajen – MI Sullam Taufiq Kajen pada tahun pelajaran 2021/2022 berkomitmen merintis madrasah inklusi. Hal itu diungkapkan M. Syaikhul Alim selaku kepala madrasah pada kesempatan sosialisasi madrasah inklusi dan raker MI Sullam Taufiq Kajen.(Senin, 5Juni 2021).
Dikatakannya bahwa program inklusi ini merupakan bagian dari komitmen MI Sullam Taufiq untuk memberikan pelayanan prima kepada peserta didik.
“Dari diagnosis dan identifikasi awal ditemukan indikasi bahwa terdapat Anak Kerkebutuhan Khusus (ABK) sehingga memiliki hambatan dalam pembelajarannya. Untuk itu perlu penanganan khusus sehingga hambatan belajar tersebut bisa diatasi” ujarnya.
Lebih lanjut disampaikan bahwa penerapan inklusi ini tidak hanya berhubungan dengan ABK an sich. Namun ditekankan juga pada upaya membangun kesadaran bersama pentingnya pendidikan yang menghargai keberagaman, baik keberagaman status sosial, budaya, kecerdasan, gaya belajar dan lain-lain.
Pada kesempatan tersebut, narasumber M. Niamil Hida yang merupakan instruktur nasional pendidikan inklusi memaparkan adanya miskonsepsi tentang apa itu pendidikan inklusi. Diantaranya perlakuan terhadap ABK yang dianggap suatu penyakit sehingga harus dijauhi. Padahal semestinya mereka harus dibantu untuk bisa menemukan dan mengembangkan potensinya.
Niamil Hida menambahkan, untuk merintis sebuah madrasah inklusi, hal mendasar yang harus disiapkan adalah membangun komitmen segenap elemen pendidikan yang ada di madrasah.
Penerapan inklusi harus berangkat dari kebutuhan madrasah dalam memberikan layanan pembelajaran kepada siswa. Untuk itu harus dibangun kesamaan persepsi. Ketika komitmen sudah terbangun harus dijalani proses dan praktiknya dengan sebaik mungkin kemudian selalu dilakukan refleksi. Hasil refleksi dijadikan sebagai dasar perbaikan begitu seterusnya sehingga menjadi sebuah siklus.
Niamil juga menekankan bahwa pendidikan inklusi tidak sepenuhnya bergantung kepada fasilitas dan sarana yang harus terpenuhi dulu. Program inklusi tetap bisa dijalankan di tengah keterbatasan yang ada dengan melakukan penyesuaian. Misalnya madrasah tidak harus menyediakan atau mengundang psikolog, ini bisa disiasati dengan membekali guru dengan training-training yang dibutuhkan. Hal lain misalnya program pembelajaran individual (PPI) tidak harus menempati ruang khusus, tapi bisa memanfaatkan ruang lain yang jarang dipakai.(Msa/Ant)